SRN/JAKARTA – Perkembangan industri pertanian kelapa sawit nasional dewasa ini semakin terpuruk, dengan cadangan stok CPO yang dilaporkan oleh GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) pada hari ini 15 Juli 2022, bukannya makin membaik, justru malah melambung tinggi jadi 7,2 juta ton dari 6,1 juta ton.
“Jumlah produksi TBS naik, tapi CPO nya turun. Berarti ada yang tidak terpanen meluas. Padahal Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan instruksi kepada dinas terkait agar stok CPO bisa dikuras habis,” tutur Wayan Supadno, praktisi petani sawit dari Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, kepada media www.seputarrakyatnews.com melalui komunikasi WhatsApp.
Menurut keterangan Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif GAPKI. “Implikasi dari kondisi ini pasti makin rumit. Karena tiap bulan rerata ekspor lazimnya adalah 3 juta ton (34 juta ton/tahun) dari total produksi 4,3 juta ton/bulan (52 juta ton/tahun).” Tegasnya dalam siaran pers di Jakarta 15/07/2022.
“Jika CPO ini tidak terkuras habis, maka imbasnya akan makin banyak PKS tutup dan tentu tidak bisa lagi menyerap TBS petani. Kemudian mengakibatkan petani merugi massal dan kredit bank makin banyak yang macet.” Penjelasan Mukti.
Rasio neraca CPO pasar ekspor, harus mampu memasarkan 3 juta ton/bulan. Jika tidak, maka terakumulasi jadi stok makin banyak lagi. Karena sawit wajib dipanen tiap 15 hari pada pohon yang sama. Masalah makin rumit. Manajemen PPIC (Poduction Planning and Inventory Control) harus ditegakkan.
Karena pada ruas hilir kondisinya menumpuk 7,1 juta ton CPO. Wajar harga CPO hanya Rp 7.000/kg. Wajar juga jika PKS yang masih buka menyerap TBS petani hanya dengan harga sekitar Rp 1.000/kg. Harga TBS tersebut jauh dari harapan petani yang dijanjikan pada waktu dulu akan kembali Rp 3.000/kg. Karena biaya produksi (HPP) Rp 1.800/kg TBS.
Kebijakan dari DMO dan DPO, HET Migor Rp 14.000/liter. Biaya kirim kapal ekspor CPO naik 3x lipatnya. Pajak pungutan ekspor hingga US $ 588/ton CPO setara Rp 8.800/kg CPO (Rp 1.700/kg TBS) jadi beban berlebihan di petani. Sehingga wajar riilnya harga TBS di lapangan di bawah Rp 1.000/kg. Rantai pasok di lapangan ini yang jarang dipahami.
“Lalu, di balik kebijakan pemerintah yang sangat memberatkan pihak petani di ruas hulu, yaitu para petani dengan jutaan kepala keluarga yang terancam bangkrut massal tak berdaya. Siapa yang dapat “Durian Runtuh” dan menikmati enaknya di balik kebijakan ini?,” Terangnya.
“Tentu saja pabrik Migor,” celotehnya.
Kalkulasi logisnya, beli CPO hanya Rp 7.000/kg. Dijadikan migor hanya tambah Rp 4.000/liter. Sebagian dijual curah harga Rp 14.000/liter anggap hanya 20%. Sisanya dikemas premium harga jual Rp 24.000/liter. Praktis laba bersih tidak kurang dari Rp 10.000/liter. Jika 500.000 KL/bulan labanya jelas Rp 5 triliun. Ehm ! Enak tenaaan.
“Bagaimana nasib petani dan pekerja industri sawit yang jumlahnya 17 juta KK ?,” Tanyanya lagi.
Pasti pusing berat dan takut bangkrut. Apalagi yang punya PKS tutup, pusing karena menjaga mutu dengan pemanasan harian biaya besar. Tiap hari bunga kredit bank jalan. Gajian karyawan. Walaupun sudah pada mulai mau merumahkan sebagian karyawannya, termasuk saya bulan depan jika pajak pungutan ekspor DMO, DPO dan HET Rp 14.000/liter tanpa dicabut dulu. Maka parsial dirumahkan dulu. Demi aman arus kas usaha. (CakBAS)